Jodoh Oh Jodoh…..
Dear Readers,
Pertanyaan mengenai jodoh memang sedikit menyesakkan dada terutama bagi perempuan yang sedang harap-harap cemas menunggu jodoh di ujung usia 30an. Seringkali kita bertanya dengan siapakah kelak kita akan berjodoh dan dimana tepatnya kita akan bertemu dengannya. Well..semua itu normal bagi setiap manusia yang sedang berada dalam masa pencarian jodoh. Jodoh merupakan rahasia Ilahi yang hanya Dialah yang tahu kapan dan dimana kita akan bertemu dengan jodoh kita. Di dunia ini sering kita jumpai pasangan yang berjodoh dengan berbeda latar belakang namun mereka dipertemukan untuk saling melengkapi satu sama lain.
“Aku terlahir dari keluarga militer, keras dan disiplin tinggi namun suamiku dari golongan biasa yang cenderung lemah lembut dan penyabar. Perbedaan ini amat timpang ketika di awal pernikahan. Tp mungkin ini maksud Tuhan mempertemukan aku dengannya. Hidupku telah lengkap dengan 2 anak perempuan dan 1 anak laki-laki yang kami angkat”, Ny. A di Semarang.
Tuhan selalu memberikan kita yang terbaik walaupun terkadang kita harus berputar otak untuk mengerti maksud Tuhan pada hidup kita. Terlebih jika menyangkut hal jodoh, rasa-rasanya kita selalu bersandar padaNya namun belum ada petunjuk apapun mengenai hal itu. Sering kita menjumpai pernikahan yang kandas di usia dini maupun pernikahan yang sudah bertahan lama. Semua itu bagian dari perjalanan jodoh manusia untuk menemukan jodoh yang sebenarnya. Terkadang manusia harus melewati kegagalan dan kesusahan sebelum ia merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Ya, kebahagian manusia terletak pada kematangan dirinya baik dr segi mental, fisik, dan rohani. Berbicara jodoh memang erat kaitannya dengan pernikahan. Ketika pernikahan hanya terbentuk dari segi ego namun tidak disertai kematangan mental dan rohani tentunya akan berakhir dengan kegagalan. Namun berbeda halnya dengan pernikahan yang dilandasi dengan kematangan dari segi mental, fisik dan rohani yang akan membentuk landasan pernikahan yang insyaalloh kuat sampai akhir hayat.
Sebelum menelisik mengenai jodoh, ga ada salahnya kita membaca sebentar kutipan kisah nyata yang dituturkan oleh seorang perempuan berinisial Ny. U di akhir tahun 2007.
*** Aku dibesarkan dari keluarga yang mapan dan terpelajar di kota Y. Kisahku berawal ketika aku duduk di semester akhir di sekolah pendidikan guru akhir tahun 80. Saat itu aku mengenal seorang laki-laki dari sahabat terdekatku, Bram. Laki-laki itu kurang lebih seusiaku. Parasnya tampan dan aku melihat sinar mata yang teduh dari dirinya. Hari demi haripun kami lalui, layaknya sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta, kamipun selalu bersama hingga akhir kuliahku di tahun 81. Selepas wisuda dia memutuskan untuk merantau ke kota L. Awal bulan Januari, dia pergi meninggalkanku. Aku lepas kepergian dia dengan doa dan harapan masa depan kami yang cerah. Sepeninggal dia tak ada firasat buruk datang padaku sampai dipertengahan minggu kedua.
“Aku merasa ada yang aneh dengan tubuhku yang sering jatuh pingsan dan muntah-muntah di kamar mandi. Tanpa pikir panjang aku langsung ke bidan terdekat dan ternyata aku sudah hamil 6 minggu”. Ny. U
Perasaanku sungguh sangat kacau karena aku takut ini akan menjadi aib jika keluarga besarku tahu. Telegrampun aku kirim ke alamat dia, namun tidak ada balasan. Berminggu-minggu aku tunggu namun tetap tidak ada surat di kotak posku. Hatiku semakin tidak karuan, aku hanya mengurung diri di kamar sepanjang hari.
“Atas bantuan kawan, aku menemukan alamat orang tua pacarku di daerah jawa barat. Alangkah terkejutnya aku ternyata dia sudah menikahi kawan sesama guru di kota L tempat dimana ia bekerja. Dengan perut yang sudah terlihat membuncit akupun pulang…”
Aku paksakan hati untuk menerima kenyataan ini dan bercerita kepada ibuku, seorang single-parent yang ternyata masih mau menerimaku. Ya, anakku akhirnya aku lahirkan dan besarkan sendiri tanpa kehadiran bapaknya. Tahun demi tahun berlalu, akupun sudah bekerja sembari mengurus anakku. Di tempatku bekerja aku mengenal seorang laki-laki yang umurnya jauh lebih muda daripada aku. Dialah yang sering mengantar jemput anakku sekolah di TK. Seringnya aku bertemu dengannya membuahkan getar-getar cinta antara aku dan dia. 1 tahun berselang, diapun meminangku.
“Aku sungguh bahagia akhirnya aku menemukan pria yang benar-benar tulus mencintaiku dan bertanggung jawab”.
Pernikahanpun dihelat, anakku perempuan menjadi saksi mungil kebahagianku saat itu. Dengan statusku mempunyai 1 anak tanpa status pernikahan tidak membuat keluarganya ragu melamarku. Bagiku semua itu sudah cukup untuk menebus kesalahanku bertemu dengan laki-laki sebelumnya.
Tahun berlalu dan akupun melahirkan anak keduaku yang ternyata juga perempuan. Namun aku dan bapak (begitu panggilanku pada suamiku) menerima dengan ikhlas pemberian Tuhan ini. Tahun berikutnya aku melahirkan seorang anak laki-laki. Sungguh semua ini adalah anugrah. Aku dan bapak sangat mensyukuri berkah ini. Kondisi perekonomian kamipun semakin baik, bapak dan aku memutuskan untuk tidak lagi menambah anak. Namun Tuhan berkendak lain, dari tahun 87-90 aku melahirkan 2 anak lagi. 1 laki-laki dan adiknya perempuan. Jumlah semua anak kami menjadi 5, 1 anak perempuan dari yang aku bawa dulu. Bapakpun mensyukuri smua berkah ini, akupun demikian. Kami berdua banting tulang untuk menghidupi kelima anak kami. Aku tidak bisa hanya mengandalkan gaji bapak yang seorang supir bis kota. Aku bekerja sebagai guru SD di dekat rumahku. Kondisi perekonomian yang labil membuat bapak harus sering lembur tengah malam sebagai supir taksi oplosan. Sungguh, dengan kelima anak ditambah 2 orang dewasa sangat berat bagi pernikahan kami yang belum genap 10 tahun.
Dengan beban 5 anak dan 2 org dewasa membuat bapak jadi jarang dirumah. Waktu dia habis buat mencari penumpang di jalan. Gajiku sebagai guru SDpun tidak mampu menyukupi kebutuhan rumah tangga. Namun aku sangat mengerti kondisi ini dan tidak menuntut banyak dari bapak. Aku hanya bisa berkirim doa disaat bapak jarang pulang ke rumah. Sore hari ketika aku sedang dirumah tiba-tiba kawan bapak datang.
“Rino, kernet bus bapak, memergoki bapak sedang di rumah bordil di dekat stasiun T bersama dengan seorang wanita muda yang bekerja sebagai pelacur. Ternyata bapak sudah berbulan-bulan hidup 1 rumah dengan wanita itu… Hancur sudah hatiku, tubuhku seakan dihantam keras oleh sesuatu…”
Aku tidak bisa berpikir jernih mengapa bapak bisa setega itu padaku. Dengan langkah gontai, aku gendong anak perempuanku yang paling kecil menuju rumah bordil yang sudah terkenal di kotaku. Air mata bercucuran di pipiku, menahan sakit yang tak mungkin aku ceritakan kepada anak-anakku. Tentang hati yang sudah tercabik, tentang pernikahan yang sudah ternoda. Aku langkahkan kakiku menuju sebuah gang kecil. Kutanya setiap perempuan yang duduk menanti pelanggan dengan nada terisak mencari keberadaan suami dan bapak dari anak-anakku. Akhirnya langkahkupun berhenti disebuah kamar kos di ujung gang, di pintu yang tidak tertutup rapat aku dapati tubuh bapak terbujur dengan bau alcohol menyengat bersama seorang wanita sedang berias disampingnya. Aku terisak dan menarik baju bapak untuk membangunkannya.
“Pergi kau, aku bosan bertahun-tahun hidup miskin dengan kamu. Aku tidak akan pulang ke rumah dan aku tidak peduli dengan anak-anakmu. Aku mau menikmati hidupku disini. ”
Aku tidak percaya bapak bisa berbicara seperti itu kepadaku dan dihadapan anak perempuannya. Aku menampar pipi bapak keras dan bapakpun bangun dari posisi tidurnya dan menarik lengan wanita pelacur itu pergi dari rumah kost itu. Bagai petir di siang hari, aku melihat bapak sebagai seorang laki-laki yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Tidak ada lagi cinta tersirat di matanya untukku dan anak-anak. Dengan peluh dan dada yang sesak, akupun pulang. Di jalan anakku perempuan terus memanggil “bapak-bapak” namun kata itu seakan menjadi duri bagi hatiku yang telah menusuk dalam.
Setelah kejadian itu, aku tidak lagi mencari bapak. Aku hanya berdoa kepada Tuhan, jika memang ia jodohku maka Engkau akan kembalikan dia padaku dalam kondisi apapun. Status pernikahankupun sudah tidak aku pikirkan lagi. Aku hanya ingin membesarkan kelima anakku tanpa seorang suami disampingku. Bertahun-tahun aku mencoba melupakan dan memaafkan bapak demi anak-anakku. Waktu berlalu, entah berapa kali lebaran aku lewati bersama anak-anakku. Kini anakku yang kedua sudah beranjak dewasa. Usia sudah menginjak 24 tahun, dan sebentar lg akan dilamar.
“Buk, apa boleh aku mencari bapak? Hery akan melamarku bulan depan dan bapak harus menjadi wali nikahku nanti. Maafkanlah bapak buk…” Ujar anakku.
Bagai diiris sembilu, kini aku harus mampu mengalah demi anakku. Kuiizinkan dia mendatangi rumah bordil bersama dengan pacarnya untuk meminta restu di hari pernikahan. Sungguh beruntungnya anakku, Hery mau menerimanya apa adanya termasuk kondisi kami yang memang bukan dari keluarga yang utuh.
Hari pernikahanpun tiba. Semua orang sudah bersiap menhadiri prosesi ijab qobul anak perempuanku. Petugas KUA setempat sudah hadir setengah jam yang lalu, kami semua hanya menunggu seseorang yang telah lama tidak kami jumpai. Menitpun berlalu, aku pun dibuat resah dengan keadaan yang tidak pasti. Namun dari jauh, samar-samar aku melihat sosok tegap yang pernah aku kenal berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ya, dialah suamiku…
“Tubuhnya kurus dan terlihat susah berjalan. Smua mata memandangnya sebagai orang yang hina dan tega meninggalkan aku dan anak-anak. Aku pun menjemputnya dan memapahnya memasuki ruangan ijab qobul. Tak sepatah katapun terucap darinya”.
Sejak pernikahan anakku itu aku tidak pernah bertemu dengan bapak lagi. Kini aku menanti kehadiran cucuku. Seperti calon nenek yang lain, akupun tengah sibuk menyiapkan segala keperluan menyambut cucu pertamaku. Senin wage, lahirlah cucuku yang pertama. Ya, cucuku adalah perempuan. Hidungnya sangat mancung, mirip ayahnya. Tahun berlalu, tepatnya 2 tahun setelah pernikahan anakku, aku mendapat telpon dari seseorang.
“Bu maaf, ini bapak sedang sakit keras dan tidak ada yang mengurus. Mohon ibu datang ke alamat ini…”
Telponpun terhenti, tak sempat aku bertanya siapakah yang menelpon tadi, namun samar-samar aku dengar suara itu mirip suara Rino, kernet bus bapak dulu. Bibirku terkatup, mataku kosong dan tak sadar air mataku mengalir. Aku arahkan kakiku menuju pangkalan taxi dan melaju ke alamat tersebut.
“Bapak tinggal kulit dan tulang, dengan perut membesar dan tak mampu berjalan sama sekali. Di sampingnya hanya ada susu dingin dan remahan biscuit… Oh Tuhan, inikah suamiku yang selama 18tahun pergi dari rumah…”
Tak mampu berkata apa-apa, aku bopong bapak menuju taxi. Taxipun melaju ke rumah sakit terdekat. Aku dekap erat tubuh bapak sambil menahan tangis.
“Bu, maafkan bapak bu. Bapak ingin kembali ke ibuk. Bapak salah meninggalkan ibuk dan anak-anak. Bapak ingin meninggal di samping ibuk dan anak-anak”.
Tubuhku semakin merapat ke tubuh bapak yang kian lemah, aku peluk dan usap rambut bapak bagai seorang anak kecil yang kembali dari tempatnya selama ini pergi. Tiada lagi emosi ato dendam yang aku rasakan. Tuhan mendengar doaku stelah berpuluh-puluh tahun. Dia mengembalikan suamiku dan aku menerimanya dalam kondisi yang tak sesempurna dulu.
3 bulan berselang. Aku merawat bapak dirumah bersama anak-anakku. Tubuh bapak semakin melemah setiap hari. Asupan buburpun sudah tidak mampu masuk ke dalam tubuh bapak. Menjelang subuh bapak membangunkan aku dengan meremas tanganku kuat-kuat. Akupun terbangun, dan kudapati kaki bapak sudah dingin dan kaku. Air mata mengalir dari sela matanya yang sayu. Aku angkat kepala bapak ke pangkuanku dan perlahan aku tuntun bapak membaca syahadat namun bapak sudah tidak mampu membuka bibirnya. Aku usap air mataku dan terus mengucapkan syahadat untuk bapak dan tiba-tiba seluruh tubuh bapak sudah dingin. Bapak sudah benar-benar pergi. Kututup mata bapak yang belum terpejam dan kulafazkan adzan di telinga bapak…
“Separo lebih hidupku telah aku jalani tanpa bapak disisiku. Kini yang tersisa hanya memori. Ya, hanya memori akan makna hidup yang kujalani. Tentang jodoh yang memang Tuhan kembalikan padaku. Aku telah melakukan baktiku sebagai istri sampai akhir hayatnya tanpa jijik maupun emosi menrima bapak kembali. Ya, virus mematikan itu telah mengakhiri perjalanan hidup bapak…”
How was it Readers? Well… kisah diatas diangkat dari kisah nyata yang dituturkan langsung di sekitar tahun 2007. Akupun menghadiri pemakamannya dan semua orang tampak berusaha ikhlas dengan ketentuan takdir ini. Kisah Ny. U menjadi cermin bgi kita yang belum menikah sebagai bahan pembelajaran yang sangat berarti. Tuhan selalu memberikan kita yang terbaik disaat yang tepat untuk kita mensyukuri kebesaranNya. Manusia sudah diatur perihal jodohnya ketika masih dalam berupa gumpalan di rahim. Disitulah Tuhan meniupkan ruh padanya dan diaturnya hidup, rezki, jodoh dan kematiannya. So Readers…jalan jodoh hanya Tuhan yang tahu. Persiapkan diri kalian dengan bekal ilmu pernikahan dan rumah tangga yang baik serta landasan agama yang kokoh, insyalloh rumah tangga sakinah akan kalian dapati.
Kembali ke permasalahan jodoh….Hmmm bagi yang sedang menanti jodoh memang disarankan bersabar dan berikhtiar karena segala sesuatunya butuh kematangan (duh berat nie..wehehe). Dear Readers setia, ga ada salahnya kita menggunakan waktu kita selagi menunggu jodoh dengan melakukan kegiatan positif. Misalkan; membaca buku mengenai konsep pernikahan, management rumah tangga dan cara mendidik anak (eitsss itu penting lohh). Dengan membekali berbagai pengetahuan mengenai seluk beluk pernikahan akan jauh lebih bermanfaat daripada kita menghabiskan waktu hang-out bersama teman-teman di club ato tempat karoke yang hanya membuang energy positif yang ada dalam diri kita.
Salam Semangat !!
RIS